Tambang Emas Salido & Pulau Cingkuak; Artefak sejarah yang terselubung di bawah kelam Bukit Barisan

This gallery contains 5 photos.

Salido Ketek atau Salido Kecil, demikianlah orang- orang di kampungku menamakannya, terletak di Kenagarian Tambang, dari kota Painan hanya berjarak kurang lebih 30 menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Di desa Salido Kecil inilah konon kabarnya dulu pernah beroperasi sebuah pertambangan emas yang di kelola oleh VOC atau Belanda selama lebih kurang 150 tahun. Kinipun… Baca lebih lanjut.

Beri peringkat:

DENGAN OTONOMI DAERAH MEMBANGUN NAGARI DI SUMATRA BARAT

Oleh : Mochtar  Naim – Anggota DPD RI Priode 2004 – 2009

Dimuat di Mimbar Minang, Padang, 9 September,1999

          SILATURRAHMI Kerja Wilayah (Silakwil) ICMI Sumbar hari sabtu tanggal 4 September 1999 yang lalu di Aula Bappenda antara lain membahas masalah Otonomi Daerah yang dikaitkan dengan tujuan membentuk masyarakat madani yang bercirikan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulah.”  Landasan bagi pembentukan Otonomi Daerah yang diletakkan di tingkat II Kabupaten/Kotamadya adalah UU No. 22 dan 25 1999. Kedua UU dan PP ter kait lainnya mengenai pemerintahan daerah sebelumnya.

          Walaupun UU No. 22 dan 25 (mengenai peraturan perimbangan keuangan pusat dan daerah) tahun 1999 itu sudah jauh lebih baik dan lebih aspiratif terhadap hak otonomi yang diletakkan di daerah tingkat II itu, namun, menurut hemat saya, semangatnya masih semangat Orde Baru. Pertama karena masih berfikir Pemerintah Puasat sentris seperti yang menjadi ciri khas Orde Ba ru, yakni yang mengkonsentrasikan seluruh kekuasaan secara sentripental ke pusat. Malah melalui trik UU ini pula, otonomi yang semestinya juga diberikan dan diletakkan di daerah tingkat I provinsi di tarik ke atas. Melalui UU ini di daerah tingkat I akan merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, sehingga keberadaan pemerintah pusat juga ada di daerah. Seolah-olah, jika sela ma ini semua-semua diatur secara sentralistis dari Jakarta, maka sekarang melalui tangan-tangan guritannya, Jakarta telah memiliki jakarta-jakarta kecil di daerah.

          Kedua, adalah aneh sekali, bahwa pemahaman tentang otonomi di artikan secara persial di samping teknis dan instrumental; padahal otonomi itu sendiri sifatnya adalah fundamental dan menyeluruh. Otonomi, seperti yang saya sampaikan  dalam sebuah Seminar BP7 dan Depdagri Di Jakarta 20 Maret 1992, pada hakekatnya adalah manifestasi dari prinsip demokrasi, dengan adagium: “Tiada demokrasi tanpa otonomi, sebagaimana tiada otonomi tanpa demokrasi.”

          Otonomi yang sifatnya fundamental yang menyeluruh itu mengharuskan adanya perangkat-perangkat di setiap tingkat dan jenjang pemerintahan, sejak dari atas sampai bawah. Jadi bukan haya daerah tingkat II yang punya otonomi, tetapi ke atas, daerah tingkat I dan pusat sekalipun, dan ke bawah, daerah kecamatan dan desa atau nagari sekalipun. Bahkan otonomi dalam pengertian yang sifatnya fundamental dan menyeluruh ini bukan hanya terbatas dalam artian kelembagaan pemerintah, tetapi setiap individu dan kelompok individu sebagai warga negara dan anggota masysrakat dan lembaga-lembaga macam apapun yang ada dalam masyarakat sendiri, pada gilirannya harus juga punya otonomi. Melalui prinsip otonomi inilah  kita memperlihatkan arti kemerdekaan  dan kebebasan yang merupakan hak asasi dalam mengatur diri sendiri itu, karena tiada yang lebih tahu dalam dalam mengatur diri itu kecuali adalah diri sendiri.

          Otonomi, bagaimanapun, adalah ibarat tubuh yang satu. Masing-masing  bagian dari tubuh itu, sejak dari ujung rambut ke ujung kaki, memiliki otonomi dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Yang satu tiodak bisa menggantikan yang lainnya. Fungsi mata, misalnya, tidak bisa digantikan oleh telinga, sebagaimana fungsi telingatidak bisa digantikan oleh kaki. Tetapi semua itu ada jaringan  koordinasi dan singkronisasinya, yang semua diatur dan dikendalikan dari pusat-pusat saraf yang ada di otak. Kunci dari semua itu adalah kerja sama dalam keseimbangan dan kesetaraan walau fungsi berbeda-beda. Demikianlah juga dengan otonomi pemerintahan itu. Oleh karena itu adalah absurd jika kita hanya berfikir dalam konteks otonomi ditingkat II saja sementara otonomi ditingkat atas maupun bawahnya ditiadakan atau tidak diatursecara sinkron dan serempak. Di sinilah kelemahan mendasar dari UU no. 22 tahun 1999 dan yang lain-lain yang mengiringinya itu.

          Bagaimanapun, realita sekarang ini mengharuskan kita untuk melaksanakan UU itu. Seperti yang saya usulkan dalam Silakwil ICMI itu, kita laksanakan UU no.22 tahun 1999 itu dengan sikap positif dan prakmatis, tetapi dengan catatan, ini bukanlah UU yang sudah mencerminkan tuntutan hak asasi dalam mengatur diri secara fundamental dan integral itu. UU ini kita perlakukan sebagai batu loncatan untuk tujuan otonomi sesungguhnya sebagai bagian dari pengejawantahan prinsip kemerdekaan dan demokrasi itu di masa mendatang.

          Kedua, kita laksanakan UU ini di daerah kita di Sumatra Barat ini secara kontekstual ; dalam arti, kita sesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial-budaya yang ada di daerah kita ini tanpa keluar dari prinsip pokok UU itu. Dan ini sama sekali dimungkinkan oleh UU No.22 itu sendiri.

Nagari sebagai Basis Pembangunan dan Unit Kesatuan Ekonomi

            Dalam rangka penyesuaian secara kontekstual dari UU No.22 itu di Suma tra Barat, saya melihat bahwa otonomi daerah yang diletakkan di tingkat II itu basisnya ada di Nagari. Daerah Tingkat II fungsinya adalah koordinatif dan fasilitatif, Sementara aktualisasi dan realisasi pembangunan diletakkan di Nagari. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas-tugas otonominya itu, Pemerintahan Tingkat II tidak berorientasi sentripental untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi justru berorientasi sentrifugal ke bawah, ke Nagari. Dalam arti lain, Pemerintahan Daerah Tingkat II adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan Nagari, dan bukan sebaliknya. Orientasi yang bersifat sentrifugal  dan mengarah ke Nagari ini sekaligus akan menghilangkan kemungkinan terjadinya penumpukan kekuasaan dan kekayaan di tangan para pejabat di tingkat II. Jika orientasi sentripental yang dilakukan maka para bupati dan walikota akan menjadi raja-raja kecil di daerahnya.

          Kesepakatan kita yang sudah bulat di daerah ini untuk mengembalikan Desa ke Nagari, oleh karena itu, sudah tidak bisa di tunggu-tunggu lagi, jika konsep yang saya usulkan ini yang kita pakai. Persiapan pelaksanaan UU22 ini harus sejalan sekali dengan persiapan untuk mengembalikan Desa ke Nagari itu. Dan untuk itu perlu ada kemauan politik dan kesamaan visi dan versi di antara kita, kususnya di antara sesama anggota dewan di DPRD yang baru dengan pemerintah dan unsur-unsur masyarakat melalui tokoh-tokoh intelektual dan LSM-LSM.

          Dengan di tempatkannya pembangunan di Nagari, dan Nagari sekaligus menjadi basis dari otonomi daerah tingkat II itu, maka tugas kita adalah bagaimana memberdayakan Nagari itu dalam rangka meningkatkan pembangunan yang berbasiskan Nagari itu di masa-masa yang akan datang.

          Saya disini mengusulkan agar fungsi Nagari di masa yang akan datang adalah seperti yang digagaskan oleh Gubernur Hasan Basri Durin dahulu, yaitu bahwa Nagari di samping sebagai unit kesaatuan Ekonomi dan unit kesatuan Adat secara sekaligus. Kata Adat disini di artikan secara luas, yaitu yang mencakup segala segi kehidupan sosial-budaya yang terpakai sehari-hari, termasuk pendidikan, agama,dsb. Namun, sekarang bukan lagi dalam artian yang haya simbolik, tetapi aktual dan operasional. Kelemahan mendasar dari gagasan Hasan Basri Durin adalah karena Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi dan adat itu tidak diberi kekuasaan  dan wewenang yang sifatnya mengatur dan mengikat. Ketiadaan pemberdayaan (“empowerment”) yang diberikan kepada Nagari di masa itulah menyebabkan pemunculan Nagari kembali sesudah takanabana dengan struktur Desa yang dianggap keliru dan salah pilih itu tidak berakibat apa-apa. Dengan kembali ke Nagari sekarang ini, empowerment itulah yang harus diberikan sebagai unit terendah dari sistem pemerintahan menggantikan Desa di Sumatera Barat ini.

          Sebagai unit kesatuan ekonomi, Nagari itu sendiri saya usulkan berbentuk badan usaha dengan corak koperasi. Dengan konsep “Nagari, Incorporated”ini Nagari mempunyai kewenangan dan keleluasaan sebagai badan hukum untuk berbuat dalam berbagai kegiatan ekonomi apapun yang bisa dilakukan di nagari itu. Aset-aset dan unit-unit usahanya bisa ada di Nagari itusendiri, di samping juga bisa pula berada di luar Nagari, berupa toko-toko, pabrik, perkebunan dan perladangan dan usuha jasa apapun yang terletak di kota  dan di bagian rantau manapun. Tentu saja bahwa anak nagari sendiri sebagai perorangan ataupun kelompok memiliki wewenang dan peluang yang penuh untuk melekukan usaha-usaha ekonomi sendiri di luar dari usaha-usaha ekonomi yang dimiliki dan di kelola secara bersama dalam bentuk koperasi yang dimiliki dan di kelola oleh nagari.

          Denagan demikian, ide koperasidari Pak Hatta yang sekarang digalakkan kembali oleh Pak Adi Sasono sebagai Mentri Koperasi dan Pemberdayaan Usaha Kecil-Menengah dilaksanakan di seluruh Nagari di Sumatra Barat dengan menjadikan Nagari itu sendiri menjadi badan usaha koperasi dan sekaligus berbentuk hukum. Tinggal menumbuhkan manajemennya dan menciptakan program-program usaha yang sesuai dengan potensi dan watak usaha yang ada di nagari bersangkutan.   

          Sebagai lompatan besar dalam rangka pemberdayaan ekonomi rang bersifat kerakyatan ini harus kita lakukan. Seperti yang semua kita harapkan, dan juga diulangi kembali oleh Pak Adi Sasono dalam pidato-pidato kunjungannya ke daerah kemarin itu, Sumatra Barat dalam suasana reformasi sekarang ini harus tampil kembali sebagai pelopor ekonomi koperasi itu. Pendulum pembangunan masa depan Indonesia ini dalam semangatnya diharapkan akan bergeser kembali dari berpola J yang vertikal-sentralistis-sentripental seperti selama masa Orla dan Orba itu kembali ke berpola M yang lebih horizontal-desentralistis-sentrifugal berorientasi kerakyatan.

Nagari sebagai Unit Kesatuan Adat dan Pemerintahan

           Nagari sebagai unit kesatuan Adat dan Pemerintahan, tak kurangnya juga harus dibenahi kembali secara sikron. Dengan sistenPemerintahan Desa yang berlaku selam amasa Orde Baru itu fungsi dan peranan Tungku Nan Tigo Sajarangan telah tergeser ke tepi. Kendatipun ada lembaga-lembaga LMD dan LKMD, DSB, mereka yang duduk di dalamnya lebih hanya sebagai peng-amin dari kebijakan dan keputusan-keputusan yang datang dari atas. Kepala Desa dalam kenyataannya telah menjadi Penguasa Tunggal di desanya, walau sesungguhnya merekapun hanyalah ujung tombak dari penguasa di atasnya. Camatlah yang sesungguhnya yang mengerakan tali kendali di Desa-Desa kecamatannya, yang pada gilirannya secara beruntun keatas juga adalah ujung tombak dari pusat kendali kekuasaan yang beruntun sampai ke tingkat paling atas.

          Dengan kembali ke Nagari ini maka Dewan Perwakilan Rakyat Nagari – atau apapun namanya – intinya adalah usur-unsur dari pimpinan Tungku Nan Tigo Sajarangan itu, yakni Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Sebagai badan legislatif di Nagari merekalah yang secara bersama-sama dengan kepala – atau wali – Nagari yang mengendalikan dan manggerakkan roda pemerintahan di Nagari. Di Kepala Nagari sendiri dipilih oleh dan dari antara unsur pimpinan  Tungku Nan Tigo Sajarangan yang duduk dalam DPRN itu. Seperti dahulu juga, di masa pemerintahan ber-Nagari, bertemu dua unsur kepemimpinan  dalam diri Kepala Nagari ini: kepemimpinan formalsebagai wakil pemerintah yang di atas di Nagari, dan kepemimpinan informal di tengah-tengah masyarakat yang dia sendiri  adalah unsur dari Tungku Nan Tigo Sajarangan itu.

          Dengan di tegakkannya kembali sistem pemerintahan di Nagari yang demokratis dan berorientasi kerakyatan ini maka sisi yudikatif dalam rangka menjaga dan menangani masalah-masalah keamanan di Nagari bisa pula di kembalikan kepada cara-cara penangannan yang berlaku dalam konteks pemerintahan di Nagari. Ini artinya bahwa silang sengketa serta kegaduhan-kegaduan yang terjadi di Nagari sejauh mungkin di tangani oleh unsur-unsur kepemimpinan Tungku Nan Tigo Sijarangan itu. Hanya hal-hal yang tak terselesaikan oleh merekalah yang dilimpahkan ke atas, ke polisi, pengadilan, dsb. Dengan demikian beban tugas yang dipikul oleh pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang demikian membengkak seperti selama masa Orba itu dapat secara drastis dikurangi, kebahagian terbesar dari kasus-kasus sengketa telah tertangani dan terselesaikan di tingkat Nagari sendiri.

          Pemberdayaan dari Nagari sebagai unit kesatuan Adat dan unit kesatuan Ekonomi melalui Otonomi Daerah yang simpul koordinatifnya diletakkan di tingkat II Kabupaten/Kotamadya dengan demikian diharapkan sekaligus juga akan memberdayakan potensi dan kekuatan riel dari rakyat dan masyarakat sendiri. Konsep yang lebih jelas, rinci dan operasional dari otonomi daerah yang berbasiskan Nagari ini, bagaimanapun, tentu saja harus dipersiapkan. Dan ini adalah tugas kita bersama, baik dari DPRD, Pemda dan tokoh-tokoh itelektual dan masyarakatsendiri.  ***