Posted on

Tambang Emas Salido & Pulau Cingkuak; Artefak sejarah yang terselubung di bawah kelam Bukit Barisan


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Salido Ketek atau Salido Kecil, demikianlah orang- orang di kampungku menamakannya, terletak di Kenagarian Tambang, dari kota Painan hanya berjarak kurang lebih 30 menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Di desa Salido Kecil inilah konon kabarnya dulu pernah beroperasi sebuah pertambangan emas yang di kelola oleh VOC atau Belanda selama lebih kurang 150 tahun.

Kinipun kita masih bisa menyaksikan sisa- sisa bangunan tambang peninggalan Belanda tersebut, dulu waktu semasa sekolah di SMP saya dengan beberapa orang teman pernah menelusuri kawasan itu, untuk sampai ke kawasan, kita harus menaiki dulu sebuah anak tangga terbuat dari batu alam yang sangat terjal dan licin sekali. Ada sekitar 150 buah anak tangga hingga kita bisa sampai di perbukitan.

Ada hal  dalam perjalanan itu yang masih berkesan dalam ingatan saya, manakala saat seorang teman di antara kami berceloteh “Iyo kurang aja urang balando tu ndak… nyo buek janjang satinggi iko dan sa sulik iko, lamak sajo nyo suruah urang awak… indak lo nyo bayia tu doh” (Memang kejam orang belanda, tangga setinggi dan seberbahaya ini dibuat oleh pribumi secara kerja paksa tanpa dibayar), mendengar celoteh itu hampir semua teman- teman tertegun… lalu diam. Saat- saat itu memang sulit membedakan antara sesak nafas, rasa takut akan ketinggian dan kegeraman kami terhadap kejamnya Belanda.

Tentunya saya tidak sedang melanjutkan cerita pertualangan masa kecil itu di sini. Tapi setidaknya apa yang pernah saya lihat di sana, menyisakan keingin-tahuan yang besar akan sejarah tambang tersebut. Bagaimana bisa orang membuat tangga setinggi dan seterjal itu? bagaimana bisa ada sebuah terowongan beton sejauh 300 m di perbukitan itu? Begitu besarkah ambisi Belanda dalam mengeksploitasi bukit ini? Tentu ada alasan – alasan yang harus dijawab.

Tapi syukurlah dengan beberapa referensi yang saya coba cari di internet, sedikitnya pertanyaan- pertanyaan di atas bisa terjawab. Di antaranya melalui blog seorang Ahli Pernaskahan bernama Suryadi Sunuri yang kini menetap di Belanda dan lewat sebuah artikel yang saya baca di AND Magazine terbitan ke 8 Tahun 2010. Naskah empirik inilah yang kemudian ingin saya share kepada para pembaca lainnya, terutama yang berminat mengetahui sejarah Salido Kecil dan apa kaitannya dengan Benteng di Pulau Cingkuak yang terletak tak jauh di depan pantai Painan/ Salido.

Rupanya nama Salido Kecil yang biasa kami sebut, oleh para Kompeni di kenal dengan nama “Salida”. Awanya saya ikut tertawa saat membaca, pengucapan Salida itu seolah pemaksaan sebutan Salido ke dalam bahasa Indonesia, rupanya memang sudah dari sono pembaca!.

Baiklah, saya akan bawa anda ke masa, dimana sejarah masih terdokumentasi ke dalam cetakan gambar hitam putih yang buram tanpa warna, Mari me-rewind semua kalender dan memutar mundur jarum jam ditangan anda…….. 🙂 😉

Luiz Vaz De Camoens atau Luis De Camoes (1524-1580) mungkin tak pernah sampai ke Swarna Dwipa ,wilayah kepulauan yang diidam- idamkannya. Namun, berita tentang Pulau Sumatera yang subur di kelilingi laut indah, serta bangunan megah dengan ketangguhan armada maritimnya, telah ia dengar sejak kecil. Kabar itu dibawa para pelarian armada Portugis ke Goa, India, setelah mereka dipukul mundur kerajaan Aceh dari Selat Malaka pada 1522.

Itulah yang kemudian menggugah Luiz menuliskan sebuah epik panjang berjudul Os Lusiadas (The Lusiads), yang di dalamnya menceritakan tentang gunung Ophir, sebuah gunung dekat pantai barat Sumatera , yang konon merupakan tempat Nabi Sulaiman menyimpan perbendaharaan emas yang, konon telah ditambang dan diperdagangkan penduduk lokal dengan orang- orang asing sejak lama. Gunung Ophir itu kini masuk ke dalam wilayah Pasaman Barat.

Kabar tentang pulau emas Sumatera memang sudah lama menjadi buah bibir di Eropa. Jauh sebelum Luiz lahir, para pelaut China dan Arab yang membina hubungan dagang dengan kerajaan- kerajaan di Sumatera setelah membawa kabar itu ke Eropah. Dalam Manuskrip Tanjung Tanah abad 13 yang ditemukan di pedalaman Kerinci misalnya, disebutkan bagaimana kerajaan-kerajaan di bawah kekuasaan Maharaja Kerajaan Dharmasraya telah menggunakan emas sebagai alat tukar dan juga benda hukum. Bahkan di situ digambarkan istana-istana yg dibuat dari emas, raja yang melempar ikan di kolam dengan batang batang emas, juga upeti beratus-ratus kati emas kepada Tiongkok. Tak aneh kalau orang Sumatera diaggap sebagai masyarakat penambang emas tertua di dunia, dan telah memiliki sejumlah tekhnologi penambangan atau pendulangan emas yang tergambar di dalam mitos-mitos yang masih hidup sampai kini.

Salah satu negeri yang tercatat dalam catatan bangsa Eropa memiliki tambang emas itu adalah Salida. Sebuah negeri di pesisir Sumatera Barat, yang kini secara administratif termasuk dalam Kabupaten Pesisir Selatan yang berbatasan dengan Kerinci. Nama Salida mulai populer ketika VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatera yang dikisahkan dengan Perjanjian Painan pada Mei 1662.

Untuk memantapkan posisi dagangnya di wilayah itu, juga untuk menumpuk komiditi perdagangan, VOC lalu membangun Loji di Pulau Cingkuak, sebuah pulau di depan pantai Salida. Benteng Pulau Cingkuak, itu juga menjadi tempat pertahanan VOC dari serangan kerajaan-kerajaan lokal Tarusan, Bayang dan Indrapura, yang menguasai wilayah Salida waktu itu.

Suryadi Sunuri, ahli pernaskahan yang bermukim di Belanda memberi catatan rinci tentang aktifitas penambangan di Salida. Dalam sebuah artikel di media lokal kota Padang, Suryadi menyebutkan bahwa kandungan emas Salida mulai diekploitasi VOC pada 1669, semasa jabatan Commandeur Jacob Joriszoon Pit (1667-23 mei 1678). Pit adalah commandeur VOC ketiga untuk pos di Padang.

Dua ahli tambang pertama yang didatangkan Heeren Zeventien (Tuan yang Tujuh Belas – sebutan untuk 17 pejabat tinggi VOC yang amat berkuasa di Amsterdam) ke Salida bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf asal Hongaria. VOC juga mendatangkan budak-budak dari Madagaskar, pulau Nias, juga tawanan perang (krijgsgevangenen) untuk dipekerjakan di tambang tersebut.

Pada tahap awal, akibat korupsi dan kacaunya administrasi, hasil penambangan kurang menggembirakan. Kehidupan di pertambangan juga buruk. Banyak buruh mati akibat mabuk minuman keras. Tercatat 49 orang Eropah hanya menerima gaji f12 (12 florin) sebulan – florin adalah mata uang gulden di Hindia Belanda. Sementara 104 orang budak lelaki serta 28 budak perempuan bekerja tanpa gaji.

Pada Juli 1679, sampailah di Salida seorang insinyur bernama Johann Wilhelm asal Jerman, ia kemudian menulis sebuah buku berjudul Zeven jahrige Ost-Indianische Reise- Beschreinbung, Altenburg: J.L. Richter, 1707, yang  menceritakan pengalamannya bekerja di tambang Salida. Tak lama kemudian Heeren Zeventien mengirim ahli bebatuan gunung Benjamin Olitzsch ke Salida, ditemani seorang asisten bernama Elias Esse. Malang bagi Olitzsch, ia meninggal pada 28 Mei 1682 di Salida karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Pulau Cingkuak. Elias Hesse kemudian menulis beberapa buku tentang Tambang Salida dan perjalanannya di Sumatera. Dalam bukunya Gold-Bewerke in Sumatra (1931), Hesse melaporkan antara 9 November: 1680 – 16 Juni 1681, sebanyak 32 dari 262 buruh di Tambang Salida, meninggal.

Wilhelm Vogel digantikan Gabriel Muller di bawah pimpinan Muller, Tambang Salida mengalami kemunduran. Kehidupan makin buruk. Faktor eksternal juga ikut menentukan: waktu itu Belanda sedang berperang dengan Perancis, sehingga berpengaruh pula ke negeri-negeri jajahannya. Akhirnya Tambang Salida ditutup.

Pada 1724, seorang ahli asal Jerman Mattenus, bersama asistennya Weinber mencoba membuka lagi Tambang Salida. Pada masa itu ditemukan kandungan emas di Karawang, Jawa Barat. Usaha pembukaan kembali Tambang Salida tidak terlalu berhasil. Karena merugi. tambang itu kembali ditutup. Pada 1732 Tambang Salida dibuka lagi, dipimpin oleh seorang ahli bernama Bollman. Eksplorasi di tambang ditingkatkan dengan membuat lubang galian baru bernama Cloon-tunnel sepanjang 300 meter.

Antara 1732-1733 hasil tambang dilaporkan meningkat: rata rata per ton batu tambang mengandung bijih emas senilai f1.350. Berdasarkan studi R.J. Verbeek, antara 1669-1735 sedah ada 800 ton bijih emas yang dihasilkan Tambang Salida, dengan nilai f1,2 juta atau rata-rata f1.500 per ton.

Selama 150 tahun beroperasi, Tambang Salida tidak banyak diketahui orang sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost-Indische Compagnie bij de ontginning der goud- en zilveraders te Salida op Sumatra’s Westkust {Catatan tentang tindakan VOC mulai menggarap sumber emas dan perak di Salida, Sumatera Barat -1886}. Verbeek mengusulkan agar ekploitasi Tambang Salida dilanjutkan.

Tergiur keuntungan, Girobank di Rotterdam yang waktu itu dipimpin Hulshof Pol, berminat mendanai eklpoitasi kembali. Dikirimlah seorang ahli pertambangan bernama Arthur Clay ke Salida. Di bawah manajemen baru, dengan K. Kriekhaus sebagai hoofadministrateur pertama, Tambang Salida mempekerjakan 6 orang ahli Eropah, dengan sekitar 50-60 pekerja kontrak dan 200 kuli bebas.

Di bawah Kriekhaus, Tambang Salida terus merugi. Neraca per 12 Desember 1912 menyisakan uang f128,33, Kriekhaus coba bertahan sambil mencari metode dan tekhnologi baru untuk meningkatkan hasil tambang. Akhir 1912 Kriekhaus masih mencoba menyelamatkan Tambang Salida. Pada Juli 1914 untuk pertama kalinya digunakan zat kimia untuk memisahkan bijih perak dan emas di Tambnag Salida.

Kriekhaus masih memimpin saat perusahaan berada di masa- masa paling sulit, sebelum akhirnya ia mundur pada 1 Mei 1918. Beberapa tahun kemudian Tambang Salido masih beroperasi di bawah pimpinan Ir. De Greve. Namun, karena merugi terus, tambang akhirnya ditutup pada 1928.

Selama proses penambangan emas di Salida, itulah Benteng Pulau Cingkuak berperan sebagai kantor dagang, sekaligus pusat pertahanan Belanda di wilayah Pesisir Selatan. Sejatinya ada versi lain yang menyebutkan Benteng di pulau berpasir putih itu dibuat pada masa penjajahan Portugis, benteng itu sengaja dibuat di Pulau Cingkuak untuk menghindari serbuan dari masyarakat setempat yang tidak senang dengan kedatangan Portugis. Pulai Cingkuak sendiri berjarak sekitar 5 menit dengan kapal motor dari Pantai Carocok.

Tentu tak mudah bagi Belanda untuk masuk dan membangun pertahanan di wilayah itu. Apalagi Pulau Cingkuak hanya dipisahkan dengan genangan air dangkal dengan pesisir Salida yang waktu itu telah melakukan perdagangan dengan kerajaan Aceh. Upaya Belanda memainkan peran dagang di pantai barat Sumatera baru berhasil setelah Aceh lemah, akibat meninggalnya Sultan Iskandar Muda pada 1636. Dareh- daerah pesisir yang tadinya terikat hubungan perdagangan dengan Aceh, mulai membebaskan diri dan kemudian melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, setelah adanya Perjanjian Batang Kapas atau Perjanjian Painan.

Posisi itu semakin kuat ketika pada 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sejak itulah Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. VOC mendirikan kantor dagang di Indrapura, kemudian terus ke Salida. Hingga akhirnya Belanda berhasil mendirikan tempat pertahanan di Benteng Pulau Cingkuak. Kini, benteng tersebut tidak lagi utuh. Sebagian batu telah hilang atau roboh namun struktur benteng yang terbuat dari batu bata dan batu hitam masih terlihat.

Bangsa Eropa datang ke Sumatera bukan karna tergiur kabar tentang wewangian dan kelezatan rempah-rempahnya melainkan akibat kandungan potensi emasnya.

Kini tambang emas Salida masih dikelola masyakarat secara tradisional. Menurut para ahli, kandungan emas di Pesisir Selatan memang masih banyak. Namun, kandungan emasnya terletak miring di bawah tanah, juga kebanyakan masih berupa emas muda. Itu sebabnya, kekayaan tersebut sulit diekploitasi. Sama seperti Benteng Pulau Cingkuak yang sebagian sudah runtuh, tambang emas Salida tinggal menjadi artefak sejarah yang terselubung di bawah kelam Bukit Barisan.

Nah pembaca, tentu potensi yang masih tersembunyi di perut bumi itu tidak sedang menunggu tangan-tangan rakus investor untuk menggalinya kembali. Sekurangnya ada tiga kesimpulan yang bisa diambil dari cerita dan sumber- sumber di atas :

  • Selama 150 tahun beroperasi Tambang Salida tidak banyak diketahui orang sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya.
  • Benteng yang terdapat di pulau berpasir putih ini dibuat pada masa penjajahan Portugis di Indonesia.
  • Tambang Emas Salida beberapa kali ditutup dan dibuka kembali, sejumlah pengelolanya harus mengalami kerugian dan kenyataan pahit.
rekomendasi :
1. Artikel Suryadi Sunuri di salah satu media cetak kota Padang
2. Indonesiaku; AND Magazine terbitan ke 8-th. 2010

Tinggalkan komentar